headline photo
Tampilkan postingan dengan label Penyimpangan ajaran Islam Deviation from Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyimpangan ajaran Islam Deviation from Islam. Tampilkan semua postingan

Cause of Infidelity of Mankind and its deviation from True Religion

In the Name of Allah the Most Gracious and the All Compassionate

Cause of Infidelity of Mankind and its deviation from Religion

The Statement of Allah the Almighty and Most Exalted:



"O People of the Scripture (Jews and Christians)! Do not exceed the limits in your religion, nor say of Allah anything but the truth..."

(4:171)

In the Sahih, Ibn Abbas (May Allah be pleased with him) commented on the verse:



"And they have said: You shall not leave your gods, nor shall you leave Wadd nor Suwa` nor Yaghuth nor Ya'uq nor Nasr (names of the idols)."

(71:23)

He said:



"These are the names of some righteous persons from Noah's (Nuh) people. When they passed away, Satan inspired their people to set up statues in their honour and set them in their gathering places, and to give these statues the names of those departed. They did this but did not worship them until these people passed away and knowledge of their origins were forgotten, then they were worshipped."



Ibn Al-Qaiyim (May Allah be pleased with him) said that most of our predecessors have stated: After the death (of the righteous persons), they confined at their graves and made statues and after much time passed they started worshipping them.

Umar (bin AI-Khattab (May Allah be pleased with him)) is reported to have said that Allah's Messenger (May the peace and blessing of Allah be upon him) said:





"Do not exaggerate in praise of me just as the Christians exaggerated in the praise of Jesus, son of Mary. I am but a slave, so call me Allah's slave and His Messenger."

(Al-Bukhari and Muslim)

Allah's Messenger (May the peace and blessing of Allah be upon him) said:



"Be ware of exaggeration. Your predecessors perished on account of their exaggeration."



In (Sahih) Muslim, Abdullah bin Mas'ud (May Allah be pleased with him) reported that



Allah's Messenger (May the peace and blessing of Allah be upon him) said:



"Destroyed are those who are extreme (in religion)." He (May the peace and blessing of Allah be upon him) said it three times.



Important issues of the Chapter



1) Whoever understood this chapter and the following two, will recognize clearly the "strangeness" of Islam and see Allah's wondrous power and wisdom to change hearts.

2) The first Shirk on the earth happened due to the confusion regarding righteous persons (that they have attributed godly characteristics).

3) The first thing to cause changes in the religion of the Prophets and the reason for that, despite the knowledge that they were sent by Allah.

4) The acceptance of heresy though it is against legal laws and inborn nature. 5) The reason for all of that is the mixing of truth with falsehood: firstly, the exaggeration in the love of the righteous; and secondly, the action of people with religious knowledge intending to do good (performed with well intentions); but the later generations thought that they intended something else.

6) Explanation of the verse in Surah Nuh (71:23).

7) Human nature towards the truth weakens in the heart while falsehood increases. (Except upon whom Allah has bestowed His mercy).

8) It confirms the sayings of righteous predecessors that heresy(Bid'ah) is the main cause leading to Kufr (disbelief) [and that it (Bid'ah) is more loved by Iblis than sinfulness because one may repent from sins but will not repent from Bid 'ah].

9) Satan (the devil) knows what the result of heresy is (and how much will it misguide), even if one commits it with good intention.

10) Knowledge of the general rule that excess and exaggeration (in the righteous ones) is prohibited, and knowledge of what it leads to.

11) The harm of seclusion at the grave even with intention of performing a righteous deed.

12) The prohibition against statues and the wisdom in destroying them.

13) Greatness of the matter within this story and how badly it is needed (i.e. the lesson within) in the face of the heedlessness and neglect of it.

14) It is absolutely amazing! And more amazing is that despite their (people of Bid'ah) reading this story in the books of Tafsir and Hadith, along with their understanding of its meaning, and knowing about the obstruction that Allah has put between them and their hearts, they believed that the deed of the people of Nuh (i.e. over praising the dead and memorializing their graves with statues) is the best type of worship. They believed in what Allah and His Messenger have forbidden which is the disbelief (Kufr) that permits the taking of life and wealth ...!

15) The declaration that they only wished the righteous ones to intercede for them.

16) Their assumption that those scholars who first shaped the statues had intended so.

17) The tremendous statement of Prophet Muhammad (May the peace and blessing of Allah be upon him) “Do not exaggerate in praise of me just as the Christians had exaggerated in the praise of Jesus, son of Mary". May the peace and blessing of Allah be upon him who has conveyed the clear message!

18) The admonition by the Prophet (May the peace and blessing of Allah be upon him) to us of destruction of those going to extreme in religion.

19) The clear statement that they (the statues) were not worshipped until true knowledge was forgotten. This explains the value of the presence of knowledge and the harm of losing it.

20) The reason for the loss of knowledge is the death of scholars.

10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:

1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).

Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud lantas berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh Rumaysho.com
[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.

Sumber: http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2844-10-kerusakan-dalam-perayaan-tahun-baru-.html
Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, ST.

Types of Kufr

In the Name of Allah The Most Gracious and the All Compassionate

Types of Kufr (Disbelief)
The Qu'ran uses the word Kufr to denote people who cover up or hide realities. The Qu'ran uses this word to identify those who denied Allah's favors by not accepting His Dominion and Authority. Kufr thus is an antonym for Iman or disbelief in Allah and a Kafir is a non-believer. This type of Kufr is called AL-KUFRUL AKBAR or major kufr. There are many types of Al-Kufrul Akbar

1. Kufrul-'Inaad:

Disbelief out of stubborness. This applies to someone who knows the truth and admits to knowing the truth and admits to knowing it with his tongue, but refuses to accept it and refrains from making a declaration. Allah(swt) says: Throw into Hell every stubborn disbeliever [Surah Qaaf (50), Ayah 24]

2. Kufrul-Inkaar:

Disbelief out of denial. This applies to someone who denies with both heart and tongue.

Allah(swt) says: They recognize the favors of Allah, yet they deny them. Most of them are disbelievers. [Surah Nahl(16), Ayah 83]

3. Kufrul-Kibr:

Disbelief out of arrogance and pride. The disbelief by the devils (Iblis) is an example of this type of Kufr.

4. Kufrul-Juhood:

Disbebelief out of rejection. This applies to someone who aknowledges the truth in his heart, but rejects it with his tongue. This types of kufr is applicable to those who calls themselves Muslims but who reject any necessary and accepted norms of Islam such as Salaat and Zakat.

Allah (swt) says: They denied them (OUR SIGNS) even though their hearts believed in them , out of spite and arrogance. [Surah Naml(27), Ayah 14]

5. Kufrul-Nifaaq:

Disbelief out of hypocrisy.This applies to someone who pretends to be a believer but conceals his disbelief. Such a person is called a MUNAFIQ or hypocrite.

Allah( swt) says: Verily the hypocrites will be in the lowest depths of Hell. You will find no one to help them. [Surah An Nisaa (4), Ayah 145]

6. Kufrul-Istihaal:

Disbelief out of trying to make HARAM into HALAL. This applies to someone who accepts as lawful (Halal) that which Allah has made unlawful(Haram) like alcohol or adultery.Only Allah(swt) has the prerogative to make things Halal and Haram and those who seek to interfere with His right are like rivals to Him and therefore fall outside the boundries of faith.

7. Kufrul-Kurh:

Disbelief out of detesting any of Allah's(swt) commands. Allah(swt) says: Perdition (destruction) has been consigned to those who disbelieve and He will render their actions void. This is because they are averse to that which Allah has revealed so He has made their actions fruitless. [Surah Muhammed (47), Ayah 8-9]

8. Kufrul-Istihzaha:

Disbelief due to mockery and derision.

Allah (swt) says: Say: Was it at Allah, His signs and His apostles that you were mocking? Make no excuses. You have disbelieved after you have believed. [Surah Taubah (9), ayah 65-66]

9. Kufrul-I'raadh:

Disbelief due to avoidance. This applies to those who turn away and avoid the truth.

Allah(swt) says: And who is more unjust than he who is reminded of his Lord's signs but then turns away from them. Then he forgets what he has sent forward (for the Day of Judgement) [Surah Kahf(18), Ayah 57]

10. Kufrul-Istibdaal:

Disbelief because of trying to substitute Allah's Laws. This could take the form of: (a) Rejection of Allah's law(Shariah) without denying it (b) Denial of Allah's law and therefore rejecting it, or (c) Substituting Allah's laws with man-made laws.

Allah (swt) says: Or have they partners with Allah who have instituted for them a religion which Allah has not allowed. [Surah Shuraa(42), Ayah 8]

Allah(swt) says: Say not concerning that which your tongues put forth falsely (that) is lawful and this is forbidden so as to invent a lie against Allah. Verily, those who invent a lie against Allah will never prosper. [Surah Nahl (16), Ayah 116]

Congratulating the kuffaar on their religious festivals

In the Name of Allah the Most Gracious and the All Compassionate

Congratulating the kuffaar on their religious festivals is haraam to the extent described by Ibn al-Qayyim because it implies that one accepts or approves of their rituals of kufr, even if one would not accept those things for oneself. But the Muslim should not aceept the rituals of kufr or congratulate anyone else for them, because Allaah does not accept any of that at all, as He says (interpretation of the meaning):

"If you disbelieve, then verily, Allaah is not in need of you, He likes not disbelief for His slaves. And if you are grateful (by being believers), He is pleased therewith for you. . ."
[al-Zumar 39:7]

". . . This day, I have perfected your religion for you, completed My favour upon you, and have chosen for you Islaam as your religion . . ."
[al-Maa’idah 5:3]

So congratulating them is forbidden, whether they are one’s colleagues at work or otherwise.

If they greet us on the occasion of their festivals, we should not respond, because these are not our festivals, and because they are not festivals which are acceptable to Allaah. These festivals are innovations in their religions, and even those which may have been prescribed formerly have been abrogated by the religion of Islaam, with which Allaah sent Muhammad (peace and blessings of Allaah be upon him) to the whole of mankind. Allaah says (interpretation of the meaning):
"Whoever seeks a religion other than Islaam, it will never be accepted of him, and in the Hereafter he will be one of the losers." [Aal ‘Imraan 3:85]

It is haraam for a Muslim to accept invitations on such occasions, because this is worse than congratulating them as it implies taking part in their celebrations.

Similarly, Muslims are forbidden to imitate the kuffaar by having parties on such occasions, or exchanging gifts, or giving out sweets or food, or taking time off work, etc., because the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: "Whoever imitates a people is one of them." Shaykh al-Islaam Ibn Taymiyah said in his book Iqtidaa’ al-siraat al-mustaqeem mukhaalifat ashaab al-jaheem: "Imitating them in some of their festivals implies that one is pleased with their false beliefs and practices, and gives them the hope that they may have the opportunity to humiliate and mislead the weak."

Whoever does anything of this sort is a sinner, whether he does it out of politeness or to be friendly, or because he is too shy to refuse, or for whatever other reason, because this is hypocrisy in Islaam, and because it makes the kuffaar feel proud of their religion.

Allaah is the One Whom we ask to make the Muslims feel proud of their religion, to help them adhere steadfastly to it, and to make them victorious over their enemies, for He is the Strong and Omnipotent

Hukum merayakan hari tertentu diluar hari raya islam


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR.al-Bukhari)
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah-- mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bid'ah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bid'ah semacam itu. Apalagi bentuk bid'ah itu adalah bid'ah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.
Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bid'ah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bid'ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bid'ah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -'Alaihissalam-- , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bid'ah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syi'ah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura' dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bid'ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bid'ah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bid'ah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja."

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu A'lam.

from:Masail wa Rasaail, Muhammad Al-Humud An-Najdi hal. 31. Dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta

Penulis: Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta

Diambil dari Darussalaf

Syahwat Wanita Berlipat Ganda Atas Syahwat Laki-Laki?

MUKADDIMAH

Kita sering mendengar ucapan banyak orang bahwa syahwat (seksualitas) kaum wanita melebihi berlipat-lipat dari syahwat kaum laki-laki. Sepintas, ucapan itu terkesan benar, namun benarkah demikian? Adakah dasarnya?
Silahkan baca selanjutnya!!

TEKS HADITS



إِِنَّ شَهْوَةَ الِّنسَاءِ تُضَاعِفُ عَلَى شَهْوَةِ الِّرجَالِ



Sesungguhnya syahwat (seksualitas) kaum wanita berlipat ganda melebihi syahwat kaum laki-laki

Imam as-Suyuthi (pengarang kitab rujukan kajian ini) mengatakan, Di dalam kitab al-Awsath dari hadits Ibn ‘Umar terdapat lafazh:



فُضِّلَتِ اْلمَرْأَةُ عَلَى الرَّجُلِ بِتِسْعَةٍ وَتِسْعِيْنَ مِنَ الَّلذَّةِ وَلَكِنَّ اللهَ تَعَالَى أَلْقَى عَلَيْهِنَّ الْحَيَاءَ



Wanita dilebihkan atas laki-laki sebanyak sembilan puluh sembilan kenikmatan (seksualitas) akan tetapi Allah Ta’ala melemparkan sifat malu pada mereka


KUALITAS HADITS

Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh (penahqiq kitab rujukan kajian ini) mengatakan:

Kualitas hadits di atas adalah MAWDHU’ (PALSU), untuk itu silahkan lihat:

- Dha’iif al-Jaami’, no.3981 karya al-Albani. Beliau (Syaikh al-Albani) berkata, “Lemah sekali.”
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.255. Di dalam sanadnya terdapat Daud, Mawla Abi Mukammil yang merupakan Munkar al-Hadiits (periwayat hadits munkar)
- Faydh al-Qadiir karya al-Manawi. Beliau (al-Manawi) berkata, “al-Bukhari berkata, ‘Munkar al-Hadiits.’ “
Syaikh Lutfhi mengomentari, “Menurutku, juga terdapat periwayat bernama Ibn Lahii’ah dan Usamah bin Zaid al-Laitsy yang dimasukkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam bukunya adh-Dhu’afaa’ (para periwayat yang lemah), yang berkata, ‘Ia (Usamah) seorang periwayat yang Layyin (ungkapan lain untuk kualitas periwayat yang lemah).”
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn ad-Dubai’, h.92
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.II, h.15
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.136


(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh, h.156, hadits no.337)

Aku Adalah Kota Ilmu Sedangkan ‘Ali Adalah Pintunya

Mukaddimah

Ada sementara kelompok agama yang sikapnya berlebihan terhadap Ahli Bait, terutama ‘Ali, berdalil dengan hadits ini (yang akan kita bahas) atas kebenaran pendapat mereka bahwa ‘Ali adalah pintu ilmu, karena itu siapa saja yang ingin memasuki rumah, maka harus lewat pintunya dan –kata mereka- satu-satunya pintu itu adalah ‘Ali, sehingga bila bukan melaluinya, maka tidak sah.

Kalau pun kualitas hadits ini dianggap shahih (padahal tidak demikian seperti yang akan dipaparkan nanti), maka tidaklah berarti ia satu-satunya pintu itu, tetapi menurut para ulama, hanya merupakan salah satu dari pintu-pintu ilmu.

Memang tidak diragukan lagi, bahwa ‘Ali merupakan ulama kalangan para shahabat dan memiliki banyak keutamaan tetapi bukan karena itu, lantas dilebih-lebihkan (bagi kalangan Ghulaat/ekstrem mereka sampai di-Tuhankan, na’uudzu billaahi min dzaalik). Apalagi bila didasari atas riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Teks seperti ini juga merupakan bagian (baca: lirik) dari salah satu lantunan seorang penyanyi dalam salah satu serialnya yang dikatakannya ‘islami’ di mana ia nampaknya penganut pendapat di atas.

Teks Hadits



أَنَا مَدِيْنَةُ اْلعِلْمِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا


“Aku (Rasulullah) adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Turmudzy dari hadits ‘Ali seraya berakata, “Hadits Munkar.” Hadits ini juga dingkari oleh al-Bukhary. Di samping itu, juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak dari hadits Ibn ‘Abbas. Ia mengomentari, “Hadits Shahih.” Namun Imam adz-Dzahaby berkata, “Bahkan ia hadits Mawdlu’ (Palsu).” Abu Zur’ah berkata, “Alangkah banyaknya orang yang menyingkap boroknya.”
Ad-Daruquthny berkata, “Tidak valid.”
Ibn Daqiq al-Ied berkata, “Mereka (ulama hadits) tidak menilainya valid.” Bahkan Ibn al-Jawzy memuatnya di dalam kitabnya al-Mawdluu’aat (kitab yang khusus berisi hadits-hadits Mawdlu’).

Al-Hafizh Abu Sa’id al-‘Alaa`iy berkata, “Yang benar, bahwa ia hadits Hasan bila dilihat dari jalur-jalurnya, tidak shahih dan juga tidak Dla’if apalagi dikatakan Mawdlu’ (palsu).”

Menurutku (Imam as-Suyuthiy, pengarang buku rujukan dalam kajian kita ini): “Memang demikian yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Hajar (al-Haitsamy-red.,) dalam fatwanya. Ucapan al-‘Alaa`iy dan Ibn Hajar tersebut telah saya paparkan panjang lebar di dalam kitab saya at-Ta’aqqubaat yang menyanggah statement yang terdapat di dalam kitab al-Mawdluaa’aat tersebut.

Pendapat Syaikh Muhammad Luthfi
ash-Shabbaagh, Penahqiq (peneliti) buku:

Ini hadits MAWDLU’ (PALSU), untuk itu silahkan lihat:
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.97
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn ad-Dubai’, h.33
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.I, h.203
- Al-Mawdluu’aat karya Ibn al-Jawzy, Jld.I, h.439
- Al-La`aaly, Jld.I, h.329
- Tanziih asy-Syari’ah, Jld.I, h.377
- Ahaadiits al-Qushshaash, h.15
- Al-Fawaa`id karya al-Karmy, h.57
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.348-354
- Al-Asraar, h.71
- Tadzkirah al-Mawdluaa’aat, h.95
- Al-Fataawa al-Hadiitsiyyah, h.126
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.II, h.251
- Asna al-Mathaalib, h.72
- Tuhfah al-Ahwadzy, Jld.IV, h.329
- Al-Mustadrak, Jld.III, h.126 (telah dinilai shahih oleh al-Haakim namun kemudian ditelusuri jalurnya oleh Imam adz-Dzahaby yang berkomentar, “Bahkan hadits Mawdlu’. Ia (al-Haakim) mengatakan, “Abu ash-Shalt [salah seorang periwayat hadits] adalah seorang yang Tsiqah, Ma`mun. Menurutku (ad-Dzahaby), “Demi Allah, ia bukan Tsiqah dan bukan pula Ma`mun.”)
- Dla’if al-Jami’ ash-Shaghiir karya Syaikh al-Albany, no.1322
- Al-Kaamil karya Ibn ‘Ady, Jld.I, h.193
- Adl-Dlu’afaa` karya al-‘Uqaily, Jld.III, h.150
- Majma’ az-Zawaa`id, Jld.IX, h.114
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh, h.70, hadits no.38)

TAMBAHAN DARI REDAKSI:

Dalam teks yang kami temukan di sunan at-Turmudzy tertulis:


أَنَا دَارُ اْلحِكْمَةِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا


“Aku (Rasulullah) adalah Daar (rumah) ilmu dan ‘Ali adalah pintunya.”
Jadi, bukan seperti teks hadits dalam buku rujukan kita di atas, barangkali ada teks lain di selain sembilan kitab hadits induk (al-Kutub at-Tis’ah).

Mengenai teks ini, at-Turmudzy mengatakan, “Hadits Gharib Munkar.”
Ath-Thiby mengatakan, “Sepertinya orang-orang Syi’ah berpegang pada permisalan ini bahwa mengambil ilmu dan hikmah dari beliau SAW adalah khusus buat ‘Ali, tidak seorang pun boleh melakukannya kecuali melalui perantaraannya sebab rumah hanya bisa dimasuki dari pintunya di mana Allah berfirman, ‘Dan masukilah rumah-rumah tersebut dari pintu-pintunya.’ Padahal sebenarnya itu sama sekali tidak dapat menjadi hujjah bagi mereka sebab Daar al-Jannah (Rumah surga) sendiri tidak seluas Daar (rumah) hikmah, sekali pun begitu, ia memiliki 8 pintu.” (Artinya, dari arah mana saja dari ke-delapan pintu itu bisa masuk, tidak mesti satu pintu sebagaimana klaim Syi’ah tersebut-red.,)

Al-Qaary mengatakan, “Ali adalah salah satu dari pintu-pintunya (pintu hikmah). Akan tetapi adanya pengkhususan itu mengandung semacam pengagungan (penghormatan) di mana ia memang demikian bila dibanding dengan sebagian shahabat dari sisi keagungan dan ilmu. Di antara hal yang menunjukkan bahwa posisi para shahabat semuanya sebagai pintu-pintu adalah hadits Nabi SAW, ‘Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang; siapa pun yang kalian ikuti, pasti kalian mendapat petunjuk.’ Yaitu sebagai isyarat perbedaan tingkatan cahayanya di dalam mendapatkan petunjuk itu. Indikatornya, para Tabi’in mengambil semua ilmu syari’at seperti bacaan, tafsir, hadits, fiqih dari para shahabat lain selain ‘Ali juga. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa pintu itu tidak khusus miliknya semata, kecuali dalam satu pintu, yaitu masalah qadla’ sebab memang ada hadits mengenai dirinya seperti itu, yang berbunyi, ‘Ia (‘Ali) adalah orang yang paling mengerti qadla di antara kamu.’ Sama seperti yang dikatakan kepada Ubay bahwa ia adalah ‘orang yang paling bagus bacaannya di antara kamu’ , Zaid bin Tsabit sebagai yang ‘paling mengerti masalah fara’idh di antara kamu’ dan Mu’adz bin Jabal sebagai yang ‘paling mengerti masalah halal dan haram di antara kamu.’ ”

Tapi sayang, berdalil dengan hadits “Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…” juga tidak tepat, sebab menurut pensyarah sunan at-Turmudzy, al-Mubarakfury yang menukil dari Ibn Hajar bahwa hadits tentang ‘para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…’ itu tidak shahih, sangat lemah bahkan Ibn Hazm menilainya sebagai hadits Mawdlu’. Al-Baihaqy mengetengahkan hadits Dla’if lainnya yang senada dengan itu lalu mengatakan bahwa bisa saja dijadikan perumpamaan dalam hal mereka itu (para shahabat) adalah seperti bintang tetapi tidak dalam memberi petunjuk. Dan hal ini sesuai dengan makna hadits shahih yang diriwayatkan Muslim, isinya, ‘Bintang-gemintang adalah amanah langit, bila bintang-gemintang itu hilang maka akan datanglah apa yang dijanjikan kepada ahli langit.’ Pendapat al-Baihaqy ini didukung oleh Ibn Hajar sekali pun beliau menegaskan bahwa makna zhahir hadits yang ada di shahih Muslim itu (hanya) berbicara tentang fitnah yang akan terjadi setelah berakhirnya masa shahabat, yaitu dengan munculnya berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan keji di seluruh muka bumi.” (alias tidak terkait dengan makna kedua hadits lemah di atas-red.,)
(Lihat, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Turmudzy karya al-Mubaarakfuury, terkait dengan syarah hadits di atas)

Kesimpulan:
- Bahwa kualitas hadits tersebut adalah MAWDLU’ sebagaimana yang dianalisis oleh Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbaagh.
- Bahwa ‘Ali memang memiliki kedudukan lebih dari sebagian para shahabat dari sisi keagungan dan ilmu, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena itu, ia lah satu-satunya pintu ilmu, apalagi dengan klaim karena hal itu telah dikhususkan Nabi SAW kepadanya. Terlebih lagi, bila dalilnya hadits di atas, Wallahu a’lam.




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=87

Aku Adalah Nabi Paling Pertama Diciptakan

Mukaddimah

Sering mereka yang dinobatkan sebagai Du’aat (Para Da’i), dalam memperingati momen tertentu seperti kelahiran Nabi SAW (padahal acara seperti ini tentu tidak ada landasannya dalam agama-red) menyampaikan hadits seperti yang akan kita kaji kali ini atau dengan redaksi yang lain. Intinya, ingin menyanjung terlalu tinggi Rasulullah SAW hingga mencapai taraf ‘berlebih-lebihan’ (Ghuluw). Sayangnya lagi, kebanyakan mereka tidak pernah mau mempertanyakan kembali ‘keshahihan’ hadits tersebut; apakah kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak.?

Termasuk dari pengembangan pembahasan hadits tersebut, pembiciraan seputar apa yang mereka sebut sebagai ‘nur Muhammad’ (yang juga dilandasi dengan hadits yang Mawdhu’ [palsu] dan cerita-cerita bohong).

Untuk itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam berdalil dengan hadits yang tidak jelas juntrungan dan kualitasnya. Sebab di samping, kualitas hadits tersebut itu sendiri lemah atau pun mawdhu’, menyampaikannya kepada umat –tanpa memberitahukan kualitas sesungguhnya hadits tersebut- dapat menyeret mereka kepada kesesatan, bid’ah bahkan kesyirikan.

Semoga kita terhindar dari kebodohan dan selalu berdalil dengan dalil yang benar-benar shahih dari Rasulullah SAW.

Teks Hadits



كُنْتُ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ فيِ اْلخَلْقِ وَآخِرَهُمْ فيِ اْلبَعْثِ


“Aku (Rasulullah) adalah Nabi Paling Pertama Diciptakan Dan Paling Akhir Dibangkitkan (diutus).”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab tafsirnya dan Abu Nu’aim di dalam kitab Dalaail an-Nubuwwah dari hadits Abu Hurairah.

KUALITAS HADITS

Ini hadits DHA’IF (LEMAH), untuk itu silahkan lihat:

- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.327
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn ad-Dubai’, h.122
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.II, h.129
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.326
- Al-Asraar, h.352
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.I, h.331 dan Jld.II, h.128. Di dalam sanadnya terdapat periwayat bernama Baqiyyah dan Sa’id bin Basyir. Kedua-duanya adalah periwayat yang lemah haditsnya. Lihat, Dalaa’il an-Nubuwwah karya Abu Nua’im

(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh, h.156, hadits no.337)




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=94

Cinta Tanah Air Adalah Sebagian Dari Iman

MUKADDIMAH

Barangkali banyak orang yang masih meyakini bahwa hadits tentang cinta tanah air (yang kita kaji dalam rubrik ini) merupakan hadits yang shahih bersumber dari Rasulullah SAW.

Karena itu, banyak mereka yang mengklaim diri sebagai kaum nasionalis berargumentasi dengan hadits ini untuk menunjukkan rasa patriotisme dan bela negara.

Padahal, berargumentasi dengan hadits yang tak diketahui juntrungannya, tentu amat berbahaya.

Namun argumentasi mengenai masalah bela tanah air dan kewajiban seorang muslim (yang baligh dan mampu) membela negerinya bila dimasuki secara kekerasan oleh musuh dapat diketahui melalui dalil-dalil lain, yaitu hadits-hadits shahihi tentang hal itu bukan berdasarkan hadits yang kita kaji ini. Dalam hadits-hadits shahih tersebut diketahui bahwa membela negeri saat diserang musuh adalah suatu kewajiban agama.

Karena itu, hendaknya menghindari cara yang salah dalam berargumentasi, termasuk dalam masalah ini, dengan merujuk kepada dalil yang jelas kualitasnya.!!

NASKAH HADITS



حُبُّ اْلوَطَنِ مِنَ اْلإِيْمَانِ



“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”

Keterangan

Menurut pengarang buku ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahaadiits al-Musytahirah, imam Jalaluddin as-Suyuthi (buku rujukan kajian ini), hadits ini tidak diketahuinya.

Tanggapan Muhaqqiq

Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, dalam tahqiq (analisis)nya atas buku ad-Durar mengatakan, “Kualitas hadits di atas adalah MAWDHU’ (PALSU), untuk itu silahkan rujuk referensi berikut:

- al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiirin Minal Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya as-Sakhawi, hal.183
- Tamyiiz ath-Thayyib Minal Khabiits… karya Ibn ad-Dubayyi’, hal.65
- Al-Asrar al-Marfuu’ah Fii al-Akhbaar al-Mawdhuu’ah karya Mala Ali al-Qari, hal.164
- Al-Fawaa’id al-Mawdhuu’ah Fii al-Ahaadiits al-Mawdhuu’ah karya al-Karamy, hal.174
- Tadzkirah al-Mawdhuu’aat karya al-Fitni, hal.70
- Kasyf al-Khafaa’ Wa Muziil al-Ilbaas… karya al-‘Ajluni, jilid I, hal.158

(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsirah Fii al-Ahaadiits al-Musytahirah karya imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal.110, no.190)

“Tuntulah Ilmu Sekalipun Di Negeri China”

Mukaddimah

Tidak dapat disangkal lagi bahwa hadits kali ini sangat populer sekali, khususnya bagi para penceramah atau pendidik yang menganjurkan murid-muridnya agar giat menuntut ilmu.
Namun kiranya, banyak yang belum mengetahui apakah hadits ini benar berasal dari lisan Nabi SAW.,?


NASKAH HADITS

اُطْلُبُوا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ


“Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri China.”


Penjelasan:

Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as-Suyûthiy dalam buku ini (ad-Durar al-Muntatsirah…) diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy, al-‘Uqailiy, al-Baihaqiy di dalam bukunya “asy-Syu’ab (Syu’ab al-Imân-red.,)” dan Ibn ‘Abd al-Barr di dalam bukunya “Fadll al-‘Ilm” dari Anas RA.


Penahqiq (analis) atas buku yang kita kaji ini, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:
“Hadits ini kualitasnya Mawdlû’ (Palsu). Untuk itu, silahkan merujuk kepada buku-buku berikut:


1. al-Mawdlû’ât karya Ibn al-Jawziy, Jld.I, h.215
2. al-La`âliy al-Mashnû’ah Fi al-Ahâdîts al-Mawdlû’ah karya as-Suyûthiy, Jld.I, h.193
3. Tanzîh asy-Syarî’ah al-Marfû’ah ‘An al-Akhbâr asy-Syanî’ah al-Mawdlû’ah karya Ibn ‘Irâq, tahqîq ‘Abdullah Ali ’Abdullathîf, Jld.I, h.258
4. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.63
5. Akhbâr Ashfihân, Jld.II, h.106
6. al-Majrûhîn karya Ibn Hibbân, tahqiq Mahmûd Musthafa, jld.I, h.382
7. adl-Dlu’afâ` karya al-‘Uqaily, jld.II, h.230
8. al-Kâmil karya Ibn ‘Adiy, jld.I, h.182
9. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.22
10. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts ‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.138
11. Dla’îf al-Jâmi’ karya Syaikh al-Albâniy, no.907
12. Jâmi’ Bayân al-‘Ilm karya Ibn ‘Abd al-Barr, jld.I, h.7 dan 154
13. Mîzân al-I’tidâl karya Imam adz-Dzhabiy, jld.I, h.107; II, h.335
14. al-Fawâ`id al-Majmû’ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû’ah karya asy-Syawkâniy, Hal.272
15. Tadzkirah al-Mawdlû’ât karya al-Fitniy, h.17
16. al-Fawâ`id al-Maudlû’ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû’ah karya al-Karmiy, no.154
17. Faydl al-Qadîr karya as-Sakhâwiy, jld.I, h.542
18. Târîkh Baghdâd karya al-Khathîb al-Baghdâdiy, jld.IX, h.364
19. Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albâniy, no.416


(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.82, no.87)

“Perbedaan Pendapat Di Kalangan Umatku Adalah Rahmat”

Mukaddimah

Perbedaan pendapat merupakan sunnatullah di muka bumi ini namun apakah dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam.?
Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Nah, pada kajian kita kali ini, akan sedikit berbicara tentang hadits tersebut dan kualitasnya, semoga dapat bermanfa’at.

NASKAH HADITS

اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

Penjelasan:

Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as-Suyûthiy dalam buku yang kita kaji ini (ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah) diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” secara marfu’ dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “al-Madkhal” dari al-Qasim bin Muhammad, yaitu ucapannya,
“Dan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata,

مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَخْتَلِفُوْا، ِلأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ

“Tidak menyenangkanku andaikata para shahabat Muhammad itu tidak berbeda pendapat, karena andaikata mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada rukhshoh (keringanan/dispensasi)”

Setelah ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini, Imam as-Suyûthiy mengomentari,
“Menurutku, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perbedaan mereka di dalam hukum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah perbedaan di dalam bidang skill dan pekerjaan. Ini disebutkan oleh beberapa orang.

Dan di dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Juwaibir, dari adl-Dlahhâk dari Ibn ‘Abbas secara marfu’ disebutkan,

اِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ

“Perbedaan pendapat para shahabatku bagi kalian adalah rahmat.”

Ibn Sa’d di dalam kitabnya “ath-Thabaqât” berkata, ‘Qabîshah bin ‘Uqbah menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Aflah bin Humaid menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘dari al-Qâsim bin Muhammad berkata,

كَانَ اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِلنَّاسِ

“Perbedaan para shahabat Muhammad itu merupakan rahmat bagi umat manusia.” “ [Selesai ucapan Ibn Sa’d]

CATATAN:

Penahqiq (analis) atas buku yang kita kaji ini, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:
“Hadits ini kualitasnya Dla’îf (Lemah) . Untuk itu, silahkan merujuk kepada buku-buku berikut:

1. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.26
2. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.9
3. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts ‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.64
4. al-Asrâr karya ,no.17 dan 604
5. Dla’îf al-Jâmi’ karya Syaikh al-Albâniy, no.230
6. Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albâniy, no.57
7. Tadzkirah al-Mawdlû’ât karya al-Fitniy, h.90
8. Tadrîb ar-Râwiy karya Imam as-Suyûthiy, h.370
9. Faydl al-Qadîr karya as-Sakhâwiy, jld.I, h.209-212, di dalam buku ini Imam as-Subkiy berkata, “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”
Menurut saya (Syaikh Muhammad Luthfiy), “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang.”

(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.59, no.6)




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=68

Tidurlah Siang Hari, Sebab Sesungguhnya Para Syetan Tidak Tidur Siang

Mukaddimah

Sering kali kita melihat ada orang yang menganjurkan agar tidur siang sekalipun itu adalah baik, namun bilamana kemudian dibarengi dengan hal yang menakut-nakuti bahwa orang yang tidak tidur siang sama dengan ‘gawe’ syetan yang juga tidak tidur siang, maka disinilah permasalahannya.
Dan karena itu, perlu ditinjau ulang benarkah ada dalilnya? Apakah ia shahih?

NASKAH HADITS



قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ


“Tidurlah siang hari, sebab sesungguhnya para syetan tidak tidur siang.”

Penjelasan:

Hadits dengan redaksi seperti ini sebagaimana yang dinyatakan oleh pengarang buku panduan kita, ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah adalah diriwayatkan oleh al-Bazzâr dari hadits Anas RA.

CATATAN:
Menurut Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh, penahqiq buku tersebut:
“Kualitasnya DLA’IF (LEMAH). Untuk itu, silahkan merujuk ke:

1. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.56
2. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.115
3. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts ‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.120
4. Shahîh al-Jâmi’, no.4431, pengarangnya, Syaikh al-Albâny berkata (mengenai hadits di atas-red.,), “Hasan.” Dan lihat juga, “Majma’ az-Zawâ`id,” Jld.VIII, h.112. Dan menurut saya (Syaikh Muhammad Luthfy), di dalam sanadnya tersebut terdapat seorang periwayat bernama Katsîr bin Marwân yang merupakan seorang Matrûk (yang ditinggalkan/tidak digubris haditsnya) serta Muttaham (tertuduh). Ibn Hajar menyebutkan di dalam Fath al-Bâry, jld.XI, h.70 bahwa hadits ini dikeluarkan oleh ath-Thabarany di dalam kitab al-Awsath dari hadits Anas RA., yang menilainya Marfû’ (sampai kepada Rasulullah) namun dalam sanadnya terdapat Katsîr bin Marwân yang merupakan periwayat Matrûk. Silahkan lihat mengenai Katsîr ini pada kitab “Mîzân al-I’tidâl” (karya adz-Dzahaby), Jld.III, h.409; “adl-Dlu’afâ’ Wa al-Matrûkîn” karya ad-Dâruquthny dengan tahqiq kami, no.448 dan lihat tahqiq kami terhadapnya.

(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.151, no.318)




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=72

Surga Itu Di Bawah Telapak Kaki Ibu

Mukaddimah

Hadits ini tentunya tidak lagi asing bagi siapapun, sebab sangat sering diucapkan ataupun didengar melalui berbagai media.

Namun ada hal yang perlu diklarifikasi lagi mengingat penisbahannya kepada sabda Rasulullah bukanlah hal main-main; apakah kualitas hadits dengan redaksi seperti itu dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak? Kalau, begitu apakah ada hadits dengan naskah yang lain? Ataukah hanya maknanya saja yang shahih?

Naskah Hadits

اْلجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ

"Surga itu di bawah telapak kaki ibu."

Penjelasan:

Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Imam as-Suyûthiy di dalam kitabnya ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah (buku yang kami gunakan sebagai rujukan dalam kajian ini), dengan menyatakan bahwa ia diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Anas.

Namun penahqiq (analis) atas buku tersebut, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:

"Hadits dengan redaksi (lafazh) seperti ini kualitasnya Dla'îf (lemah). Menurut saya, menisbahkannya kepada Imam Muslim perlu diberi catatan. Imam ash-Shakhawiy berkata, 'Demikian ini, padahal ad-Dailamiy telah menisbahkannya kepada Imam Muslim dari Anas, karena itu perlu dicek kembali.' Al-Ghumâriy ketika memberikan anotasi atas hal itu berkata, 'Sama sekali Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini, sekalipun Imam az-Zarkasyiy dan as-Suyûthiy menisbahkan kepadanya mengikuti Imam ad-Dailamiy.'
Untuk itu, perlu merujuk kepada buku-buku berikut:

Ahâdîts al-Qushshâsh karya Ibn Taimiyyah, h.70


al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.176


Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.63


Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.I, h.335


Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzhabiy, jld.IV, h.220


al-Fawâ`id al-Maudlû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya al-Karmiy, Hal.147


al-Kâmil karya Ibn 'Adiy, Jld.VI, h.2347


Dla'îf al-Jâmi' karya Syaikh Nashiruddin al-Albâniy, No.2666

Syaikh al-Albâniy berkata, 'Hadits tersebut (diatas) tidak diperlukan lagi karena sudah ada hadits sebelumnya yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîh, no.1249 dengan lafazh,
اِلْزَمْهَا فَإِنَّ اْلجَنَّةَ تَحْتَ أَقْدَامِهَا

"Berbaktilah terus kepadanya (sang ibu) karena surga itu berada di bawah telapak kakinya."

Yang dimaksud oleh Syaikh al-Albâniy tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Mu'âwiyah bin Jâhimah yang dikeluarkan Imam Ahmad (Jld.III:429) dan an-Nasâ`iy. Lihat juga, Sunan Ibn Mâjah, no.2781 dan al-Mustadrak karya al-Hâkim, Jld.II, h.104."

(Sumber: ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy, tahqiq Syaikh. Muhammad Lutfhfy ash-Shabbâgh, h.105-106, no.178)




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=62

Bercincinlah Dengan Batu Akik


Mukaddimah

Barangkali ada sebagian penggemar yang karena saking kagumnya atau pedagang batu cincin yang karena ingin melariskan dagangannya berdalil dengan hadits tentang keutamaan batu akik. Siapa yang tidak tahu batu akik? Tetapi apakah dapat dibenarkan berdalil dengan hadits tersebut. berikut uraiannya!!

Naskah Hadits



تَخَتَّمُوْا بِاْلعَقِيْقِ فَإِنَّهُ يَنْفِي الْفَقْرَ



Bercincinlah dengan batu akik sebab ia dapat menghilangkan kefakiran

Takhrij Ringkas

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailami, dari hadits Anas, Umar, Ali dan Aisyah dengan sanad-sanad yang beragam. Di dalam kitab al-Yawaqit karya Muthriz disebutkan bahwa Ibrahim al-Harbi ditanyai mengenai hadits ini, ia mengatakan, ‘Shahih.’ Ia berkata pula, diriwayatkan juga dengan lafazh ‘Tahattamu’ (dengan huruf Ha’ sebagai ganti huruf Kha’-red), artinya berdiamlah di Aqiq dan menetaplah di sana. Menurutku (Imam as-Suyuthi), Ibn Adiy meriwayatkan dengan sanad Dha’if (lemah) dari hadits Aisyah secara Marfu’ denga lafazh,


تَخَتَّمُوْا بِاْلعَقِيْقِ فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ


Bercincinlah dengan batu akik sebab ia diberkahi

(Lihat buku rujukan kita, ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Masyhurah karya Imam as-Suyuthi, hal.101, nomor 164)

Komentar Terhadap Hadits

Peneliti (Penahqiq) buku rujukan di atas (ad-Durar al-Muntsirah), Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh berkata, Kualitas hadits ini adalah MAWDHU’ (PALSU) . Lihat rujukan-rujukan berikut:
- al-Maqashid al-Hasanah, hal.153
- Tamyiz al-Khabits, hal.55
- Kasyf al-Khafa’, I:299
- Al-Kamil karya Ibn ‘Adiy, VII:2604
- Tarikh Baghdad, XI:251 dengan lafazh, “…..Fa Innahu Mubarak”
- Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir, 2411, ia (Syaikh al-Albani) berkata, “Maudhu’ (Palsu)
- At-Tanbih ‘Ala Huduts at-Tash-hif karya Hamzah al-Ashfihani, hal.33
- Al-Asrar, 133
- Mizan al-I’tidal, I:530 dan IV:455
- Al-Mawdhu’at, III:58
- Al-La’ali, II:272
- Tanzih asy-Syari’ah, II:270
- Al-Fawa’id karya asy-Syaukani, hal.194




--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=113

Siapa Yang Mengenal Dirinya, Maka Dia Telah Mengenal Rabb-nya

Mukaddimah

Kita sering mendengar banyak sekali para penceramah ataupun akademisi yang sering berargumentasi dengan ungkapan seperti ini karena mengira ia adalah hadits Rasulullah yang perlu diimani dan terkadang sering disalahtafsirkan, khususnya penganut aliran Wahdatul Wujûd.
Karena itu, benarkah ungkapan tersebut merupakan hadits Rasulullah yang shahih sehingga dapat dijadikan hujjah?, silahkan ikuti!.

Naskah Hadits

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

(Man 'Arofa Nafsahu, Faqad 'Arofa Rabbahu) "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Rabb-nya."

Imam an-Nawawiy berkata, "Hadits ini tidak valid."
Ibn as-Sam'aniy berkata, "Ini adalah ucapan Yahya bin Mu'adz ar-Raziy."

Catatan:

Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbaq (penahqiq) buku ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyûthiy (buku yang kita kaji ini) berkata,
KUALITASNYA MAWDLU' (PALSU);
Silahkan lihat,

Fatâwa an-Nawawiy, h.120

al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.419

al-Asrâr al-Marfû'ah Fî al-Akhbâr al-Mawdlû'ah, karya Mala al-Qariy, h.506

Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr 'Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba', h.165

Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs 'Amma isytahara Min al-Ahâdîts 'Ala Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûniy, Jld.II, h.262

al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fî al-Ahâdîts al-Mawdlû'ah, karya Imam asy-Syaukaniy, h.87

Asnâ al-Mathâlib, karya Muhammad bin Darwîsy al-Hût, h.219

Risalah: al-Qawl al-Asybah Fî Hadîts Man 'Arafa Nafsahu 'Arafa Rabbahu, karya Imam as-Suyûthiy di dalam kitabnya al-Hâwiy, Jld.II, h.412

Tadrîb ar-Râwiy, karya Imam as-Suyûthiy, h.370

Tadzkirah al-Mawdlû'at, karya al-Fitniy, h.16

al-Fatâwa al-Hadîtsiyyah, karya Ibn Hajar al-Haitamiy, h.211

Hilyah al-Awliyâ`, karya Abu Nu'aim al-Ashfahâniy, Jld.X, h.208
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq oleh Syaikh.Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, h.173, hadits no.393)



--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=57

Thalaq cerai


أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَقُ

"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah"

Sumber Hadits

Redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ibn Mâjah dari hadits 'Abdullah bin 'Umar.
Dalam redaksi Imam al-Hâkim,

مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ

"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."

Di dalam redaksi kitab Sunan ad-Daylamiy dari Mu'adz bin Jabal disebutkan,

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الطَّلاَقَ وَيُحِبُّ الْعِتَاقَ

"Sesungguhnya Allah membenci thalaq dan menyukai 'itâq (memerdekakan budak)."

Dalam redaksi yang lainnya -di dalam kitab yang sama- dari jalur Muqâtil bin Sulaiman dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya secara Marfu',

مَا أَحَلَّ اللهُ حَلاَلاً أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ النِّكَاحِ، وَلاَ أَحَلَّ حَلاَلاً أَكْرَهُ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ


"Tidak ada sesuatu yang halal yang dihalalkan oleh Allah lebih dicintai-Nya dari nikah; dan tidak ada sesuatu yang halal tetapi paling dibenci-Nya selain thalaq."

Di dalam kitab Târîkh Ibn 'Asâkir dari jalur Ja'far bin Muhammad; Syuja' bin Asyrasy menceritakan kepada kami, dia berkata: ar-Rabî' bin Badr menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Abi Qilâbah, dari Ibn 'Abbas secara Marfu' ditulis dalam redaksi berikut,

مَا مِنْ شَيْئٍ مِمَّا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ أَكْرَهُ عِنْدَهُ مِنَ الطَّلاَقِ

"Tidak ada dari sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian yang paling dibenci di sisi-Nya selain thalaq."

Kualitas Hadits

Kualitas hadits dalam pembahasan kita di atas (no.2) adalah DLA'IF' (Lemah) dari sisi Sanad nya.

Tentang kelemahan hadits ini dapat dirujuk pada buku-buku berikut:

Sunan Abî Dâwud, jld.II, hal.342, no.2177,2178


Sunan Ibn Mâjah, jld.I, hal.650, no.2018


al-Mustadrak, karya Abu 'Abdillah al-Hâkim, jld.II, hal.196 . Lafazh redaksi al-Hâkim terdapat di dalam Sunan Abi Dâwud


as-Sunan al-Kubra, karya al-Baihaqiy, Jld.VII, hal 322


Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.143


al-Kâmil, karya Ibn 'Adiy, Jld.IV, hal.1630


al-Jâmi' al-Kabîr, karya Imam as-Suyuthiy, Jld.I, hal.690 .
Mengenai perawi bernama Muqâtil, menurut para ulama, dia lemah dalam periwayatan hadits. Untuk mengetahui tentang apa saja cacat (Jarh) yang dituduhkan kepadanya, silahkan lihat:
Mîzân al-I'tidâl, karya Imam adz-Dzahabiy, jld.IV, hal.173 dan halaman setelahnya


al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah 'Alâ al-Alsinah, karya Imam as-Sakhâwy, hal. 12


Tamyîz ath-Thayyib min al-Khabîts Fî m6a yadûru 'alâ Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya 'Abdurrahman bin 'Aly bin ad-Dîba', hal. 5


Kasyf al-Khafâ' wa Muzîl al-Ilbâs 'Ammâ Isytahara Min al-Ahâdîts 'Alâ Alsinah an-Nâs, karya al-'Ajlûny, Jld I, hal. 29


Dla'îf al-Jâmi' ash-Shaghîr, karya Syaikh al-Albany, no. 44
Tema Hadits

Hadits tersebut sering dijadikan dalil di dalam menyatakan bahwa syari'at Islam amat membenci suatu perceraian (thalaq).

Adalah merupakan hal yang disepakati bahwa syari'at amat mencela terjadinya thalaq sebab memiliki implikasi yang negatif.

Pertanyaannya, apa landasannya?.
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa ia hadits yang Shahîh dan Muttashil (bersambung mata rantai periwayatnya hingga kepada Rasulullah).
Sebagian ulama lagi, mengatakan bahwa ia hadits yang Dla'îf (Mursal).

(Diambil dari buku 'ad-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah', karya Imam as-Suyuthy, (tahqiq/takhrij hadits oleh Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shabbagh), hal. 57, hadits no. 1 dengan beberapa penambahan)

Catatan :

Menurut Muhaqqiq (peneliti) buku yang kami bahas diatas, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbagh, kualitas hadits tersebut adalah DLA'IF (MURSAL). Hal ini berdasarkan rujukan-rujukan yang kami sebutkan diatas. Pendapat ini nampaknya juga diambil oleh Syaikh al-Albaniy dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.

Sementara di dalam fatwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` (lembaga resmi fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI), disebutkan bahwa hadits tersebut SHAHIH MUTTASHIL bukan hadits MURSAL secara Sanad dan Matan (Lihat, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` , jld.IV, Hal.438-439, no. fatwa.11005)



--------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=49

Masalah Talqin Mayit Setelah DiKuburkan

Mukaddimah

Permasalahan Talqin Mayit merupakan salah satu hal yang krusial dan perlu difahami secara benar, mengingat ibadah adalah hal yang bersifat Tawqîfiyyah (sebatas nash dan sumbernya) sehingga di dalam melaksanakannya perlu ada nash yang pasti; shahih, sharih (jelas) dan kuat.
Dalam hal ini perlu ada pemilahan; antara Talqin Mayit yang disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan. Yang disyari'atkan adalah Talqin Mayit sebelum meninggal alias saat menghadapi sakratul maut karena memang didukung oleh dalil-dalil yang shahih. Yaitu, menalqinkan orang yang sedang sekarat tersebut dengan kalimat Tauhid "Lâ ilâha Illallâh".

Sedangkan yang tidak disyari'atkan adalah ketika sudah meniggal dunia, apalagi sudah dikuburkan. Adalah musibah besar bilamana hal yang serius seperti ini dilakukan berdasarkan hadits yang tidak ketahuan juntrungannya; apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
Nah, dalam silsilah kali ini kami mengangkat hadits tentang talqin mayit setelah dikuburkan tersebut, Bagaimanakah kualitasnya?, silahkan simak!

Hadits Ketiga

تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ

"Menalqin Mayit adalah setelah dikuburkan"

Sumber Hadits

Redaksi seperti ini diriwayatkan di dalam Mu'jam ath-Thabaraniy dengan SANAD DLA'IF (LEMAH)

Catatan Terhadap Kualitas Hadits

Komentar tentang kualitas hadits tersebut diatas disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam bukunya ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah.
Penahqiq (analis) buku tersebut, Syaikh Muhammad Luthfiy as-Shabbâgh menyatakan bahwa hadits tersebut berstatus : MAWDLU'
Hal ini berdasarkan:
Kitab al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya Imam asy-Syawkaniy, Hal.268


Kitab Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi'iy al-Kabîr karya Ibn Hajar, Jld.II, Hal.136, sekalipun beliau sudah berupaya untuk menguatkannya.


Kitab Zâd al-Ma'âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, Hal.145. Beliau mengomentari hadits diatas, "Tidak shahih (bila dikatakan) Marfû' (terangkat periwayatannya hingga sampai kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam)."


Kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm karya ash-Sha'âniy, Jld.II, Hal.113. Beliau berkata, "Pengarang kitab al-Manâr berkata, 'Sesungguhnya ulama yang menggeluti hadits tidak meragukan lagi hadits talqin tersebut adalah MAWDLU'.' "


Kitab Fatâwa an-Nawawiy karya Imam an-Nawawiy, Hal.37


Kitab Majma' az-Zawâ`id karya Ibn Hajar al-Haytamiy, Jld.III, Hal.45.
Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh selanjutnya berkata, "Sedangkan menalqinkan mayit sebelum meninggal (saat menghadapi sakarat) dengan kalimat Tauhid, maka hal ini memang valid dan banyak sekali hadits-hadits Shahîh yang menegaskan hal itu. Bisa dilihat pada komentar kami terhadap hadits no.322 pada kitab Mukhtashar al-Maqâshid (al-Hasanah, karya as-Sakhawiy-red.,) dengan tahqiq kami."
(Diambil dari: Kitab ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh, Hal.196, Hadits no.469.

Melihat Aurat Isteri Waktu Jima’

MUKADDIMAH

Sering kita dengar obrolan di kalangan orang-orang awam yang terkesan hanya menyampaikan apa yang pernah mereka dengar, tanpa mengetahuinya secara pasti. Dan memang, realitasnya, sering pula sebagian para penceramah di acara-cara tertentu bila menyinggung masalah pernikahan, mengatakan bahwa melihat aurat isteri ketika bersetubuh tidak dibolehkan, bahkan ada yang mengatakan haram.!
Untuk mengetahui lebih jauh kepastiannya, bagaimana teks haditsnya dan bagaimana kualitasnya, silahkan simak kajian berikut.!!

TEKS HADITS



إَذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ اْلعَمَى




[Jika salah seorang di antara kamu menyetubuhi isteri atau budaknya, maka janganlah ia memandang/melihat farji (kemaluan)-nya, sebab hal itu dapat menyebabkan kebutaan]

KUALITAS HADITS

Ini adalah hadits MAUDHU’ (PALSU), dikeluarkan oleh Ibn al-Jauzi di dalam al-Maudhu’at (II/1), dari Hisyam bin Khalid, (ia berkata) Baqiyyah menceritakan kepada kami, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibn ‘Abbas secara Marfu’. Kemudian Ibn al-Jauzi berkata, “Ibn Hibban mengatakan, ‘Baqiyyah meriwayatkan dari para pendusta dan memanipulasi… Ini adalah Maudhu’.”

Dalam hal ini, setelah menyebutkan ‘illat-‘illat (cacat- cacat) sisi periwayatan hadits ini, mengomentari pendapat Ibn ash-Shalah yang memandang sanadnya baik, Syaikh al-Albani mengatakan bahwa apa yang dikatakannya ini tidak tepat. Ibn ash-Shalah, menurut al-Albani, hanya terbuai dengan zhahir hadits sementara tidak memperhatikan ‘illat yang demikian detail yang diingatkan oleh Imam Abu Hatim.

Syaikh al-Albani, di akhir komentarnya menyatakan bahwa melalu pengamatan yang benar, maka jelas sekali menunjukkan kebatilan hadits ini, sebab -kata beliau- pengharaman memandang/melihat dalam hal jima’ (bersetubuh) hanyalah dalam rangka pengharaman terhadap wasa’il (sarana-sarana)-nya. Bilamana Allah telah membolehkan bagi suami untuk menyetubuhi isterinya, maka apakah masuk akal Dia melarangnya (sang suami) memandang/melihat farjinya.?! Tentu saja tidak! Hal ini didukung oleh hadits shahih, di antaranya dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah SAW dalam satu bejana, antara diriku dan dia, lalu ia mendahuluiku (mengambil ciduk) hingga aku mengatakan, ‘biarkan aku! Biarkan aku!.’” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, serta perawi lainnya).

Dalam hadits ini, yang nampak adalah bolehnya memandang/melihat. Hal ini juga didukung oleh riwayat Ibn Hibban, dari jalur Sulaiman bin Musa, bahwa ia ditanyai tentang seorang laki-laki (suami) yang melihat farji isterinya.? Maka ia berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha’, maka ia mengatakan, ‘aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, lalu ia menyebutkan hadits tadi.”

Ibn Hajar dalam Fathul Bari (I/290) mengatakan, “(Hadits) ini merupakan Nash (teks) mengenai bolehnya suami melihat/memandang aurat isterinya, demikian pula sebaliknya.”

Bilamana hal ini sudah jelas, maka tentu tidak ada gunanya perbedaan antara melihat ketika mandi atau pun sedang berjima’ (bersetubuh), sehingga terbukti sekali kebatilan hadits ini (hadits di atas-red).”

SUMBER: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa al-Maudhu’ah karya Syaikh al-Albani, Nomor Hadits, 195, Jld.I, hal.351-354 dengan sedikit diringkas.

Bacaan Setelah Menguburkan Mayat

MUKADDIMAH

Perbuatan yang berkaitan dengan pembahasan kali ini teramat sering dilakukan orang, bahkan umumnya melakukan hal seperti ini. Yaitu amalan yang dilakukan ketika jenazah orang yang telah meninggal dunia usai dikuburkan dan ditimbun, di mana sebagian orang biasanya dipimpin oleh seorang yang diulamakan tidak lantas pergi tapi duduk di atas kuburan yang telah ditimbun tersebut

Di antara bacaan yang sering di-‘diktekan’ adalah bacaan seperti kajian kita ini. Nah bagaimanakah kualitasnya dari sisi hadits.? Silahkan baca uraiannya.!

Semoga orang yang masih bersih dan suci nuraninya dapat menimbang secara positif, mana yang shahih dan tidak shahih? Mana yang diajarkan dalam agama melalui dalil yang valid dan mana yang tidak?



إذا مات الرجل منكم فدفنتموه فليقم أحدكم عند رأسه، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيسمع، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيستوي قاعدا، فليقل، يا فلان بن فلانة! فإنه سيقول، أرشدني، أرشدني، رحمك الله، فليقل، اذكر ما خرجت عليه من دار الدنيا، شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول له، ما نصنع عند رجل قد لقن حجته؟ فيكون الله حجيجهما دونه....




“Bila seorang laki-laki di antara kamu meninggal dunia, lalu kamu kuburkan ia, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di dekat kepalanya, lalu hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan mendengar. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan duduk lurus. Hendaklah ia mengatakan, ‘Hai Fulan bin Fulanah.!’ Sebab ia akan mengatakan, ‘Berilah aku petunjuk, berilah aku petunjuk, semoga Allah merahmatimu.!’ Hendaklah ia mengatakan, ‘Ingatlah ucapan yang kamu bawa keluar dari dunia; persaksian bahwa tiada tuhan –yang berhak disembah- selain Allah semata, Yang tiada sekutu bagiNya dan bahwa Muhamad adalah hamba dan utusanNya, hari Kiamat pasti datang, tiada keraguan padanya dan Allah akan membangkitkan orang yang berada di dalam kubur. Sebab masing-masing dari Munkar dan Nakir memegang tangan temannya seraya berkata kepadanya, ‘Apa yang harus kami lakukan terhadap seorang laki-laki yang telah menalqinkan hujjahnya.? Maka Allah-lah yang akan memberikan hujjah kepada keduanya untuk membelanya.”

KUALITAS HADITS

Syaikh al-Albani RAH berkata, “MUNKAR (Bagian dari hadits Dha’if).
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Qadhi al-Khal’i dalam al-Fawa`id (2/55) dari Abu ad-Darda`, Hasyim bin Muhamad al-Anshari, ‘Utbah bin as-Sakan menceritakan kepada kami, dari Abu Zakaria, dari Jabir bin Sa’id al-Azdi, ia berkata, “Aku menemui Abu Umamah al-Bahili yang sedang sekarat, lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Sa’id! Bila aku meninggal nanti, maka perbuatlah untukku seperti yang diperintahkan Rasulullah saw bagaimana kita memperlakukan orang-orang mati di kalangan kita, sebab beliau bersabda, …(lalu ia menyebutkan teks hadits diatas).”

Menurutku (Syaikh al-Albani-red), Sanad hadits ini Dha’if sekali!!?? Saya tidak mengenal seorang pun dari perawinya selain ‘Utbah bin as-Sakan. Ad-Daruquthni berkata, ‘Ia orang yang ditinggalkan haditsnya.’ Al-Baihaqi berkata, ‘Lemah, dinisbatkan kepadanya suka memalsukan hadits.’

Hadits ini juga dimuat oleh al-Haitsami (3/45) dari Sa’id bin Abdullah al-Azdi, ia berkata, ‘Aku menyaksikan Abu Umamah …(Teks hadits), lalu ia berkata, ‘Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir (al-Mu’jam al-Kabir-red) dan di dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak aku kenal.’

Menurutku (Syaikh al-Albani-red), Nama perawi dari Abu Umamah masih diperselisihkan. Di dalam riwayat al-Khal’i, bahwa ia adalah Jabir bin Sa’id al-Azdi, sedangkan dalam riwayat ath-Thabarani, ia adalah Sa’id bin Abdullah al-Azdi. Ini, Ibn Abi Hatim memuatnya (2/1/76) seraya berkata, ‘Sa’id al-Azdi’, tidak menisbatkan kepada ayahnya dan tidak pula menyinggung sisi Jarh (pencitraan buruk) dan Ta’dil (pencitraan baik). Ia termasuk kalangan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya (Majhulin). Karena itu, amat aneh ucapan yang dinyatakan al-Hafizh (Ibn Hajar-red) dalam at-Talkhish (5/243) setelah merujuknya kepada ath-Thabarani, ‘Sanadnya Shalih (layak), dan telah dikuatkan oleh adh-Dhiya` dalam kitab Ahkam-nya. Juga dikeluarkan oleh Abdul Aziz dalam asy-Syafi. Sedangkan perawi dari Abu Umamah adalah Sa’id al-Azdi. Ibn Hatim telah menulisnya dalam coretannya.!’

Bilamana di dalamnya terdapat perawi yang anonim seperti ini, maka bagaimana mungkin sanad ini menjadi layak dan kuat.? Bahkan bersama itu pula terdapat sejumlah periwayat lain yang sama-sama tidak diketahui identitasnya (majhulin) sebagaimana yang disiratkan dalam ucapan al-Haitsami di atas. Ini semua, bila tidak ada di dalam sanad ath-Thabarani itu Utbah bin as-Sakan yang tertuduh. Jika tidak, maka dari asalnya, semua sanadnya itu sudah gugur.! Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ (5/304) setelah dirujuk oleh ath-Thabarani, ‘Dan sanadnya Dha’if. Ibn ash-Shalah berkata, ‘Sanadnya tidak dapat tegak (dijadikan hujjah).’

Demikian pula, dilemahkan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’ (4/420). Ibn al-Qayyim berkata dalam Zad al-Ma’ad (1/206), ‘Tidak shahih bila dinilai Marfu’.’

Ketahuilah, tidak ada riwayat pendukung untuk hadits ini. Semua apa yang dikatakan sebagian ulama hanya berupa Atsar Mauquf (hadits yang diriwayatkan sebatas para Tabi’in-red) yang diriwayatkan dari kalangan Tabi’in kawasan Syam, yang tidak layak untuk dijadikan pendukung sehingga dapat menjadi Marfu’ bahkan ia tambah menjadikan riwayat itu cacat! Turun dari Marfu’ kepada Mauquf. Dalam ucapan Ibn al-Qayyim tadi, terdapat isyarat terhadap apa yang kami sebutkan setelah dilakukan perenungan. Yakni, ia menjadi Syahid Qashir (pendukung yang terbatas), sebab intinya berupa, ‘Mereka dulu menganjurkan agar diucapkan kepada mayyit ketika dikuburkan, ‘Hai Fulan, katakanlah ‘La Ilaha Illallah, katakanlah ‘Asyhadu An La Ilaha Illallah, sebanyak tiga kali. Katakanlah, Rabbku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad.’

Kalau begitu, mana yang dapat dijadikan pendukung terhadap sisa kalimat yang tersebut dalam redaksi hadits di atas, seperti ‘Ibn Fulanah’ ‘Berilah aku petunjuk’, dst.’ Juga perkataan kedua malaikat, ‘Apa yang dapat kita lakukan di sisi laki-laki…?’

Ringkasnya, hadits ini adalah Hadits MUNKAR menurutku, jika bukan MAUDHU’ (PALSU). Ash-Shan’ani dalam Subulussalam (II:161) mengatakan, ‘Dari perkataan ulama tahqiq didapatkan bahwa ia adalah hadits DHA’IF, mengamalkannya adalah Bid’ah. Dan janganlah tergiur dengan banyaknya orang yang melakukannya.!!’

Hal ini tidak pula berarti menolak ucapan yang masyhur di kalangan ulama mengenai pengamalan terhadap hadits dha’if dalam Fadha`il al-A’mal (amalan-amalan ekstra) sebab ini diposisikan pada amalan yang pensyari’atannya memang valid berdasarkan al-Qur’an atau as-Sunnah yang shahih. Sedangkan yang bukan kategori demikian, maka tidak boleh mengamalkan hadits dha’if, sebab itu artinya melakukan tasyri’ (pensyari’atan) dan hal ini tidak boleh dengan hadits dha’if, sebab ia tidak menginformasikan selain dugaan minus menurut kesepakatan para ulama. Nah, bagaimana boleh mengamalkan sepertinya.? Maka, kiranya orang yang menginginkan agamanya selamat dapat memperhatikan hal ini sebab banyak orang yang lalai darinya. Kita memohon kepada Allah hidayah dan taufiqNya.”

(SUMBER: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa al-Maudhu’ah karya Syaikh al-Albani, II:64-65, No Hadits, 599)
 
back to top